Rupiah Tembus Rp 16.000, Pengaruh Kebijakan The Fed dan Inflasi AS
Foto: Akbar Nugroho Gumay / ANTARA
VAZNEWS.COM - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menembus level Rp 16.000 pada penutupan perdagangan Jumat (13/12/2024), mencatat pelemahan sebesar 64 poin (0,4%) dibandingkan hari sebelumnya.
Ini adalah salah satu level terendah yang pernah dicapai oleh rupiah dalam beberapa tahun terakhir. Pelemahan ini terutama disebabkan oleh ketidakpastian pasar terkait rencana jangka panjang suku bunga The Federal Reserve (The Fed) dan data inflasi AS yang masih tinggi.
Menurut Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, pasar semakin tidak yakin dengan strategi jangka panjang The Fed meskipun bank sentral telah memangkas suku bunga sebesar 75 basis poin sepanjang tahun 2024.
“Hal itu karena data minggu ini menunjukkan inflasi AS tetap tinggi,” kata Ibrahim, mengutip dari lapan investor.id. Tekanan ini mendorong penguatan dolar AS, dengan indeks dolar naik 0,06 poin menjadi 107,06.
Sementara itu, kebijakan ekspansif yang diusung oleh Presiden terpilih AS, Donald Trump, diprediksi akan mempertahankan suku bunga pada level tinggi dalam jangka panjang. Langkah ini semakin memperbesar jarak antara kebijakan moneter AS dan negara berkembang, yang cenderung melemahkan mata uang seperti rupiah.
Dari sisi global, investor juga mengamati langkah-langkah stimulus yang diumumkan dalam Konferensi Kerja Ekonomi Pusat (CEWC) di China. Meski Beijing telah berjanji untuk meningkatkan defisit anggaran dan melonggarkan kebijakan moneter, pasar skeptis terhadap efektivitas langkah ini dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ibrahim menyebut bahwa langkah tersebut tidak memberikan momentum ekonomi langsung untuk melawan tekanan deflasi di China.
Selain itu, perhatian investor juga tertuju pada kebijakan suku bunga di Jepang dan Inggris yang diproyeksikan akan mempengaruhi arus modal global. Ketidakpastian di pasar internasional ini turut memperburuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Dari dalam negeri, faktor seperti rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 juga memberikan tekanan terhadap ekonomi Indonesia.
Ibrahim memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan inflasi serta menekan daya beli masyarakat. “Resiko terhadap inflasi dan daya beli masyarakat harus diwaspadai,” ujarnya.
Kondisi ini menunjukkan tantangan besar bagi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah dinamika global yang semakin kompleks.